STEI SEBI kembali menggelar kuliah tamu internasional secara online di masa pandemi ini. Pada kesempatan ini, kuliah tamu topik audit syariah disampaikan oleh Dr. Nurulhuda Abd Rahman. Ia adalah dosen senior sekaligus kepala pusat riset akuntansi dan keuangan syariah, Universiti Teknologi Mara (UiTM), Malaysia.
Acara ini diselenggarakan oleh Program Studi Akuntansi Syariah bekerjasama dengan Digital Learning Center for Islamic Studies (DLCIS), Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) secara daring pada Rabu (14/7). Kuliah yang mengangkat tema “Islamic Legal Maxims for Shariah Audit in Islamic Bank” ini dihadiri oleh 235 peserta.
Kuliah yang disampaikan dalam bahasa inggris dan melayu ini dimoderatori oleh Dr. Sepky Mardian, Ketua Program Studi Akuntansi Syariah, STEI SEBI. Dalam pengantarnya, ia mengatakan bahwa acara ini terinspirasi dari artikel narasumber dengan tema yang sama terpublikasi di Journal of Islamic Accounting and Business Research (JIABR). “Tema kuliah ini sangat penting, karena disampaikan langsung oleh penulis artikelnya. Kuliah ini akan menjelaskan bagaimana mengimplementasikan 5 kaidah dasar fikih dalam audit syariah untuk mencapai tujuan-tujuan syariah (maqasid syariah)”.
Dalam kuliah ini, Dr. Nurulhuda memulai pemahaman terkait konsep syariah, 5 kaidah dasar fikih, audit syariah, tatakelola syariah dan bagaimana aplikasi 5 kaidah tersebut dalam audit syariah. “Jika transaksi bank syariah tidak memenuhi prinsip syariah, maka harus dihentikan. Ini menjadi penting bagi bank syariah dalam mencapai tujuan syariah dalam semua operasionalnya. Untuk memastikan hal tersebut, dibutuhkan audit syariah yang didasari pada 5 kaidah dasar fikih”. Beliau merincikankan kaidah dimaksud adalah (1) setiap urusan itu tergantungan pada niatnya; (2) kesulitan itu mengharuskan adanya kemudahan; (3) kemudaharan itu harus dihilangkan; (4) keyakinan tidak dapat dibatalkan karena keraguan; dan (5) kebiasaan itu dapat menjadi hukum”.
Dalam kajian fikih, kaidah ini merupakan kaidah dasar dalam mencari penyelesaian permasalahan-permasalahan fikih yang dihadapi dalam kehidupan. Dr Nurul melanjutkan bahwa “dalam konteks audit syariah, kaidah dasar ini akan mampu menjadi nilai kerja bagi auditor dalam memberikan pertimbangan pemeriksaan sehingga dapat lebih bijak dalam dalam keputusannya. Kebijaksanaan tersebut tercermin dalam sikap proporsional antara pertimbangan bisnis dan sosial dalam menjaga kepentingan stakehoder bank syariah, yang akhirnya menumbuhkan kepercayaan”.
Aplikasi kaidah dasar ini dilakukan dalam semua tahapan audit. “Kelima kaidah dasar ini dapat diaplikasikan auditor syariah dalam tahapan perencanaan audit, pekerjaan lapangan dan pelaporan”. Beliau lebih lanjut mencontohkan, kaidah “setiap urusan itu tergantung niatnya”. Kaidah ini menjadi nilai bagi auditor dalam melakukan perencaanaan audit. Perencanaan harus dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kepentingan stakeholder, sehingga prosedur dan bukti audit yang dikumpulkan dapat memastikan terjaganya kepentingan mereka. Dalam tahapan eksekusi audit, kaidah “al-yaqiinu la yuzaalu bis sak”, keyakinan tidak dapat dibatalkan oleh adanya keraguan. Untuk mecapai hal tersebut audit dapat mengikuti kaidah dan panduan yang didasarkan pada metodologi audit yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang di skala nasional atau internasional. Adapun dalam tahapan pelaporan, kaidah “kemudharatan harus dihilangkan” diimplemetasi dalam laporan auditor yang dapat menjelaskan kondisi sebenarnya. Jika ada pelanggaran syariah, maka harus disampaikan dan diberikan rekomendasi perbaikan.
Kuliah tamu ini yang berlangsung lebih dari 2 jam ini, juga mendapat respon antusias dari peserta. Diantaranya, peserta dari Universitas Airlangga yang menanggapi terkait ruang lingkup audit yang seharusnya tidak hanya sebatas audit keuangan. Dalam tanggapannya, Dr. Nurulhuda sepakat dengan pandangan penanya bahwa audit syariah juga harus meliputi audit kepatuhan atas prinsip syariah, sehingga auditor yang ditugaskan harus memiliki pengetahuan audit dan syariah. “Di Malaysia, regulasi tatakelola syariah memberikan kebijakan bahwa auditor syariah harus memiliki kompetensi audit dan syariah” tambahnya. Dalam paparannya terkait konteks di Malaysia, “risiko ketidakpatuhan syariah menjadi tanggung jawab dari unit manajemen risiko syariah, unit reviu syariah, unit audit syariah yang selanjutkan dilaporkan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS)”. Hal ini tertuang dalam Shariah Governance Framework (SGF), regulasi tatakelola syariah yang diluncurkan pada 2010.
Adapun di Indonesia, regulasi belum menyebutkan secara tegas adanya audit syariah, namun dalam peraturan OJK dijelaskan bahwa fungsi kepatuhan syariah dapat dijalankan oleh unit audit internal untuk dilaporkan kepada DPS. Dalam beberapa bank syariah, pelaksanaan fungsi ini bahwa juga dilakukan secara khusus oleh fungsi kepatuhan syariah.
Setelah sesi tanya jawab, acara ditutup dengan foto besama peserta dan narasumber dan dilanjutkan ramah tamah informal diantara peserta, panitia dan narasumber. [sm]